Laman

Powered By Blogger

maanyan manuwu

maanyan suku paling maeh..

Jumat, 26 November 2010

saya wedi yanto,putra dayak maanyan betang nalong,mengucap kan selamat membaca..

Palus lech na baca,ada amangan-mangan..


'BALIAN DAYAK MAANYAN'


Bagi masyarakat Dayak Maanyan
di daerah perbatasan Kalimantan
Selatan dan Kalimantan Tengah,
Genjep adalah salah seorang
balian dusun yang dihormati.
Selain melaksanakan ritual adat
terkait kematian Dayak
Maanyan, dia juga berusaha
menarik minat kaum muda agar
ritual adat tersebut tetap lestari.
Jika saya mati nanti, tidak tahu
apakah akan dikubur dengan
ritual adat aruh buntang atau
tidak lagi. Apa pun yang terjadi,
saya tetap berusaha
mempertahankan tradisi ini
selagi mampu,” kata Genjep
menegaskan tekadnya.
Masyarakat Dayak Maanyan
tepatnya tinggal di antara
daerah Kabupaten Tabalong,
Kabupaten Barito Timur, dan
Barito Selatan. Di kalangan
masyarakat, Genjep akrab disapa
Mama Uci, merujuk pada nama
anak pertamanya.
Selama ini dialah salah satu
balian dusun dari ”sedikit” tokoh
perempuan yang dihormati
masyarakat Dayak Maanyan,
khususnya di Desa Warukin,
Kecamatan Tanta, Kabupaten
Tabalong, Kalimantan Selatan.
Dia menjadi balian dusun (balian
perempuan), tokoh spiritual
perempuan Dayak Maanyan
yang melayani permintaan
memimpin ritual upacara adat
setempat. Meski sebagian warga
beragama Kristen, Katolik, dan
Islam.
”Dulu, jumlah balian banyak.
Sekarang, balian perempuan
hanya tinggal beberapa orang.
Selain karena sejumlah ritual
adat makin jarang digelar, juga
banyak orang tak mau jadi
balian, ” ujarnya.
Sejak Minggu (11/7) lalu, Genjep
bersama tiga belian dusun
memimpin ritual aruh (upacara)
buntang atau aruh mambuntang
di Warukin. Aruh buntang adalah
upacara mengangkat arwah dari
alam kubur ke surga. Ritual adat
terkait kematian ini digelar
keluarga Pardi Luit untuk
orangtuanya, Utau, yang
meninggal 30 tahun lalu.
Prosesi tersebut diyakini sebagai
cara menempatkan arwah
menjadi ”bapak” tertinggi di
rumah. Dalam kepercayaan
masyarakat penganut
Kaharingan, agama asli
masyarakat Dayak, orangtua
atau leluhur akan memberikan
keberkahan kepada generasi
penerusnya yang masih hidup.
Berusia muda
Selama berlangsung aruh
buntang, sekitar lima hari,
hampir semua prosesi menjadi
tanggung jawab Genjep. Dia
yang menyiapkan berbagai
sesaji sebagai unsur ritual,
memanggil dan berkomunikasi
dengan arwah, dan
mengangkatnya ke alam surga.
Tugasnya seperti mediator.
Selain menyiapkan sesaji di balai
(rumah panggung), Genjep juga
memimpin proses bamamang
(membaca mantra). Ia bersama
tiga balian perempuan lain
melakukannya dengan tarian
ritual diiringi bunyi gemerincing
gelang dadas, gelang kuningan
yang dikenakan para balian itu.
Mereka memakai pakaian adat
khas balian dusun, berupa tapih
bahalai, kain batik yang dililitkan
di dada. Lalu, pada bagian
belakangnya terselip sebilah
keris. Dia juga memakai ikat
kepala.
”Setiap melakukan ritual ini, saya
ditemani tiga balian lain.
Setidaknya satu dari mereka
berusia muda, sekitar 35-40
tahun. Saya berharap, dengan
melibatkan balian dusun yang
masih muda, kita mampu
mempertahankan tradisi ritual
ini, ” kata Genjep menjelaskan
usahanya melestarikan adat,
meski diakuinya menjadi balian
tak mudah.
Selain harus terlatih menggelar
berbagai ritual Dayak Maanyan,
seorang balian juga mesti
menguasai dan hafal semua
mantra yang dipakai. ”Semua itu
tak bisa dipelajari lewat buku
karena tak ada bukunya. Balian
muda harus belajar dengan
berguru langsung kepada balian
dusun tertua, ” katanya.
Kondisi fisik seorang balian juga
harus prima karena ritual adat
itu bisa berlangsung sampai
sembilan hari terus-menerus. Itu
belum termasuk persiapan.
Ketika aruh buntang digelar,
praktis Genjep hanya bisa tidur
beberapa saat.
Keahlian nenek
Memimpin ritual adat dilakukan
Genjep sejak tahun 1968.
Keahliannya sebagai balian
dusun berawal ketika ia berusia
12 tahun. Saat duduk di bangku
kelas empat sekolah rakyat, ia
diminta meneruskan keahlian
neneknya, Pembekal Lingut.
Sang nenek, Pembekal Lingut,
adalah salah seorang ”pandai” di
Tamiang Layang. Genjep
mengingat, salah satu prosesi
yang dilakukan untuk
mentransfer ilmu itu adalah
denganbamandi-mandi atau
mandi menyucikan badan.
Setelah itu, Genjep kecil
diharuskan menghafal berbagai
mantra. Kemudian, selama
sekitar 22 tahun terus-menerus
Genjep mengikuti sang nenek
setiap kali ada aruh buntang.
Setelah berusia 42 tahun, Genjep
baru dipercaya memimpin ritual
aruh buntang.
”Saya diambil dari sekolah, saya
menangis karena tak mau
(menjadi balian dusun). Lalu
nenek bilang, sayang kan jika
tidak ada yang diutuskan
menjadi balian. Apa boleh buat,
akhirnya terjadi juga, ” tuturnya.
Belakangan ini Genjep membagi
ilmunya kepada dua perempuan
muda. Kata Genjep, mereka
sendiri yang mengajukan diri
menjadi balian. Maka, apa yang
dia dapatkan dari sang nenek
dia lakukan pula kepada
muridnya. Mereka mengikuti ke
mana saja Genjep memimpin
ritual aruh buntang.
Semakin langka
Perkembangan zaman memang
membawa pengaruh, termasuk
pada masyarakat pedalaman
Kalimantan. Dari pengamatan
Genjep, dibandingkan dulu,
keberadaan balian dusun
belakangan ini semakin langka.
Kondisi ini sedikit berbeda
dengan balian lain, seperti balian
bawo, balian lelaki yang
jumlahnya relatif masih
mencukupi.
Entah apa yang menjadi
penyebab, Genjep tidak bisa
menjelaskannya. Dengan nada
khawatir dia memperkirakan
tradisi aruh buntang semakin
terancam punah. Memang, untuk
melaksanakan upacara adat itu
diperlukan biaya besar,
mencapai puluhan juta rupiah. Di
samping itu, sebagian warga
setempat juga telah berpindah
agama, dan tradisi ini pun
mereka tinggalkan.
Dalam keluarga Genjep, dari
tujuh anaknya, tidak ada
seorang pun yang berkeinginan
mengikuti jejaknya, menjadi
balian dusun. Mereka memilih
menjadi pegawai negeri sipil di
kantor pemerintah kabupaten,
atau bekerja di pertambangan
batu bara yang beroperasi di
kawasan itu.
Namun, bagi Genjep, kondisi itu
tak membuatnya patah
semangat. Dia tetap menekuni
tugas dari leluhur, sebagai balian
dusun. Meski usia tidak lagi
muda, Genjep terus berjalan,
mendatangi satu demi satu
kampung masyarakat Dayak
Maanyan di perbatasan tiga
provinsi, yakni Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Timur.
Dia tetap fokus pada tujuan
semula, yakni melestarikan ritual
adat Dayak Maanyan. Ditemani
gemerincing gelang dadas pada
kedua tangannya, tubuh tua
Genjep tetap gemulai
membawakan tarian sakral. Dia
memimpin warga Dayak
Maanyan setempat siang-malam
agar menghormati para
leluhurnya dengan aruh
buntang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar